Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI) |
SOROTTUNTAS.COM - Kapal - kapal yang pekerjakan Anak Buah Kapal (ABK), baik domestik dalam negeri maupun luar negeri (Kapal Ikan Asing) sangat sering terjadi kasus eksploitasi terhadap pekerjanya (ABK). Negara pun jarang hadir saat terjadi masalah - masalah tersebut. Lebih jauh, belum ada mitigasi (antisipasi) yang baik terhadap perlakuan tidak layak terhadap ABK.
Regulasi negara untuk melindungi profesi ABK yang rentan eksploitasi. Bahkan, hal ini dianggap seperti biasa, padahal di berbagai negara, kejahatan terhadap ABK selalu terjadi.
Indonesia termasuk negara yang parah kondisi ABK-nya. Padahal, perikanan salah satu sektor penting. Output yang dihasilkan sektor perikanan cukup besar untuk memenuhi gizi dan protein, khususnya penduduk Indonesia dan masyarakat dunia pada umumnya.
Menurut BPS dalam statistik kurva peningkatan perusahaan perikanan tahun 2021, bahwa jumlah perusahaan penangkapan ikan tahun 2019 - 2021 yang aktif adalah 104 perusahaan.
Provinsi DKI Jakarta adalah provinsi yang memiliki perusahaan penangkapan ikan paling banyak yaitu sebanyak 29 perusahaan.
Pada tahun 2019, jumlah perusahaan yang melakukan budidaya perikanan mencapai 279 perusahaan, tersebar di 22 provinsi dan kegiatan terbanyak di Provinsi Jawa Timur dengan 120 perusahaan (43,01 persen).
Jenis kegiatan perikanan masih didominasi oleh kegiatan budidaya Air Payau (166 perusahaan), diikuti oleh kegiatan pembenihan (70 perusahaan), kemudian budidaya laut (34 perusahaan) dan budidaya air tawar (9 perusahaan).
Menurut Lembaga Sertifikasi Pekerja (LSP) tahun 2020 bahwa pekerja terbanyak berasal dari jenjang pendidikan sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah pertama (SMP).
Jumlah pekerja di sektor kelautan dan perikanan yang tersertifikasi hanya 44.300 orang atau jauh dari jumlah tenaga kerja di sektor itu sekitar 12 juta orang.
Persoalan pengakuan oleh industri perikanan, yang tecermin pada permintaan terhadap tenaga kerja tersertifikasi, menjadi tantangan.
Kalau LSP sendiri mensertifikasi 2,3 juta tenaga kerja dari berbagai sektor berkisar 20% kemudian menjadi TKI. Sisanya bekerja di dalam negeri.
Sementara, industri perikanan hanya 10% dari 12 juta tenaga kerja kelautan dan perikanan sertifikasi bekerja di perusahaan perikanan luar negeri alias menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI).
LSP sendiri pertengahan tahun 2020 memangkas target sertifikasi menjadi sekitar 120.000 tenaga kerja dari rencana awal 150.000 akibat pemangkasan anggaran.
Jumlah itu menurun drastis dari sertifikasi tahun lalu yang menjangkau 300.000 tenaga kerja, realisasi tertinggi BNSP selama lebih dari 10 tahun berdiri.
Akibat pemangkasan target, jatah sertifikasi tenaga kerja perikanan terpotong menjadi 16.000 orang dari semula 20.000 orang. Dari biaya sertifikasi Rp 500.000 - Rp1 juta per orang, pemerintah selama ini mensubsidi Rp500.000 per orang.
Perusahaan perikanan yang berbadan hukum yang melakukan kegiatan penangkapan ikan atau budidaya perikanan, perlu segera mengatasi kekurangan sertifikasi pekerja.
Pemerintah juga perlu ada upaya finalisasi seluruh jumlah perusahaan perikanan. Data yang dikumpulkan mencakup data produksi, tenaga kerja, sarana produksi dan struktur ongkos.
Metode yang dipakai untuk mengumpulkan data adalah pencacahan lengkap terhadap seluruh perusahaan perikanan. Pengumpulan data dilaksanakan secara rutin setiap tahun.
Pada 2016, International Organization for Migration (IMO) bekerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Conventry University mengeluarkan laporan berjudul Report on Human Trafficking, Forced Labour and Fisheries Crime in the Indonesian Fishing Industry.
Namun, hasil kerjasama ini tidak kelihatan data faktualnya tentang orientasi, sebab akibat, dan jumlah pasti keberadaan perusahaan perikanan.
Data KKP hingga sekarang, masih memakai data tahun 2011 jumlah tenaga kerja perikanan dan ABK yang bergerak di sektor perikanan tangkap, budidaya, dan pengolah hasil pemasaran sebanyak 11.972.520 orang.
Namun jumlah itu, masih belum memadai. Kelemahan data tersebut, karena kualitas dan kuantitas SDM di sektor kelautan dan perikanan masih lemah.
Saat ini pun, antara jumlah armada kapal ikan nasional dan luar negeri tidak terdata dengan baik berapa sebenarnya jumlah ABK dan pekerja industri perikanan.
Sehingga ketika terjadi masalah human trafficking (perdagangan manusia), perbudakan dan pelecehan seksual dalam sektor perikanan, pemerintah sering abai. Karena data faktual tidak dimiliki.
Kompas (2020) merilis hasil kajian International Organization for Migration (IMO) dan Conventry University yang mengeluarkan laporan berjudul Report on Human Trafficking, Forced Labour and Fisheries Crime in the Indonesian Fishing Industry, terbagi menjadi dua konteks yakni; pertama, mencakup perdagangan manusia (nelayan, ABK dan pekerja migran) untuk keperluan eksploitasi tenaga kerja di laut dan operasi darat.
Aktivitas yang berbasis di laut termasuk penangkapan ikan di kapal, pembudidayaan ikan di instalasi tengah laut, serta mengambil sumber daya laut dari perahu atau kapal.
Sementara itu, aktivitas yang berbasis di darat antara lain bengkel kapal, bekerja di pelabuhan (reparasi jaring ikan, memilih ikan atau hewan laut), serta pembudidayaan hewan laut di daratan. Kedua, mencakup perdagangan manusia, khususnya wanita dan anak-anak, untuk kepentingan eksploitasi seksual bagi nelayan atau pelaut.
Data KKP yang bersumber dari survei BPS tahun 2018 - 2019 bahwa Indonesia terdapat 12 juta pekerja yang harus dipenuhi haknya sesuai UUD 1945 Pasal 27 ayat 2, Pasal 28D ayat 2, dan Pasal 28E ayat 1. Jumlah ini, ada peningkatan dibanding tahun 2011 lalu.
Tetapi, perlu diketahui dalam konstitusi; UUD 1945 dan Pancasila, bahwa tiap-tiap warga negara (ABK dan Pekerja Industri) berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, memilih pekerjaan, dan terbebas dari ancaman eksploitasi; human trafficking, perbudakan dan pelecehan seksual yang menjadi hak asasinya.
Para ABK dan pekerja industri perikanan hingga saat ini masih berada di bawah sistem kerja outsourcing, beban dan jam kerja yang panjang capai 10 jam per hari tanpa upaya yang layak, tidak dilindungi asuransi, intimidasi, dan pemecatan sepihak.
Dari hasil riset Front Nelayan Indonesia (FNI) 2021 dalam masa pandemi covid, pekerja perikanan mendapatkan upah rata - rata mulai dari Rp30.000 - Rp150.000 per hari untuk kapal domestik dan rerata Rp200.000 - Rp250.000 per hari untuk kapal ikan asing (KIA). Jika dibandingkan dengan beban dan resiko kerja yang mereka alami, upah tersebut tergolong sangat rendah dan pelanggaran hak asasi pekerja.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) merilis data tahun 2021 mencatat, bahwa pada 2018 kasus ABK Indonesia di kapal perikanan berbendera asing jumlahnya 1.079 kasus.
Pada 2019 capai 1.095 dan tahun 2020 total kasus ada 1.451 laporan kasus. Jumlah kasus tersebut meningkat dalam dua tahun terakhir. Rincian dari 1.451 kasus ABK, 1.211 kasus di antaranya repatriasi, masalah gaji (465 kasus), kekerasan (156 kasus), kematian (70 kasus), TIP (26 kasus), dan lainnya (104 kasus).
Perdagangan manusia tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga banyak negara lainnya terutama negara berkembang, seperti Ghana, Sierra Leone, Afrika Barat, Thailand, Ukraina, Rusia, dan Korea Selatan. Peningkatan kasus terhadap ABK Indonesia, yaitu dampak ekonomi di sektor perikanan yang menyebabkan operasional perusahaan perikanan di berbagai negara tidak bisa memenuhi kewajiban mereka, termasuk soal gaji dan kebutuhan dasar awak kapal.
Menurut laporan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) tahun 2020, bahwa beberapa langkah kejahatan perdagangan manusia pada industri perikanan; Pertama, masalah rekrutmen melalui metode ilegal; Kedua, transportasi atau transfer ilegal dari satu negara ke daerah tertentu; Ketiga, eksploitasi di kapal penangkap ikan, dan; Keempat, pencucian laba.
Para korban perdagangan manusia dalam sektor perikanan kerap mengalami kerja paksa dan kondisi yang tidak manusiawi, serta lingkungan yang sangat tidak sehat. Hal ini termasuk ditempatkan di sebuah ruangan istirahat yang sempit, terkadang tanpa kasur. Para ABK juga kerap mengalami malnutrisi sebagai akibat terbatasnya makanan serta jam tidur yang sedikit.
Menurut Kementerian Luar Negeri (Kemlu) tahun 2021 bahwa setidaknya empat masalah utama yang harus jadi perhatian pemerintah untuk bisa tingkatkan perlindungan terhadap ABK Indonesia di kapal asing; pertama, tata kelola penempatan dan perlindungan ABK di kapal asing melalui payung hukum yang ada; Kedua, data jumlah ABK sering berubah dan tidak valid sehingga sulit berikan bantuan hukum yang lebih baik sekaligus meningkatkan pengawasan; Ketiga, perlunya standarisasi kontrak kerja ABK dan; keempat, melalui jalur diplomasi.
Penelitian yang dilakukan oleh International Labour Organization (ILO) pada 2006 lalu, kasus yang lebih parah, korban kerap dirantai di kapal tanpa diberikan asupan makanan, kru kapal dibunuh atau dibuang ke laut ketika terluka atau sakit.
Sementara itu, para ABK yang menjadi korban merasa helpless karena tidak bisa kabur di tengah lautan. Kondisi bekerja di atas kapal bisa jadi sangat berbahaya. Sulit bagi nelayan dan ABK dapatkan hak yang layak.
Kasus seperti ini merupakan masalah lama yang erat kaitannya. Pekerja industri perikanan dan ABK memiliki jam kerja yang tidak menentu, karena ditentukan oleh kapten kapal.
Salah satu contoh beberapa tahun lalu, para ABK yang bekerja di Kapal Ikan China Long Xing 239 di pekerjakan selama 18 jam dalam sehari. Bahkan bisa berdiri selama 30 jam, dengan enam jam istirahat.
Kondisi pekerja sektor perikanan masih memprihatinkan. Meskipun telah disahkan UU No.21/2000 tentang Serikat Pekerja, UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, serta UU No.24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Permasalahan inti dari banyak kasus adalah peraturan dan keterlibatan pemerintah dalam memberi perlindungan terhadap ABK dan pekerja perikanan. Hal itu harus berlaku dalam negeri maupun di luar negeri.
Komitmen pemerintah harus menyusun peta jalan nasional menuju ratifikasi konvensi ILO 188, lakukan nota kesepahaman dengan negara tujuan, di mana semua ABK dan pekerja industri perikanan berasal dari Indonesia.
Pemerintah harus lakukan perbaikan regulasi, berupa peraturan pemerintah untuk penempatan dan perlindungan awak kapal niaga maupun perikanan yang bekerja di kapal berbendera asing sesuai UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI).
Perlu juga memberi pelajaran yang keras terhadap proses pemberian izin bagi perusahaan yang akan menempatkan awak kapal, rekrutmen, pendataan, pelatihan dan sertifikasi dan pengawasan.
Evaluasi dan pembenahan mutlak dilakukan pada tahapan-tahapan tersebut agar dampak masalah yang ditimbulkan saat ABK bekerja di atas kapal bisa ditekan secara signifikan.
Pemerintah juga harus mendorong secara kuat penegakan hukum. Karena sangat penting untuk memberi efek jera. Apalagi sekarang aturan-aturan itu sudah diatur baik bagi perorangan maupun korporasi.
Tentu, adanya payung hukum yang menjadi standar pada kehidupan ABK dan pekerja industri perikanan. Jelas spiritnya mencegah tindak kekerasan dalam bentuk fisik, mental, seksual, human trafficking lewat percaloan, kerja overtime, seringkali tidak dibayar dan fisik yang terkuras dan kurang makanan.
Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)