Rusdianto Samawa, Sala satu Pendiri LBH Nelayan Indonesia |
SOROTTUNTAS.COM - Pada hari Antikorupsi sedunia yang diperingati setiap tanggal 9 Desember setiap tahunnya, mendapat penilaian tersendiri dari Rusdianto Samawa, salah seorang Pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Nelayan Indonesia.
Dirinya menilai bahwa pola penegakan hukum terhadap berbagai kasus korupsi terutama di sektor kelautan dan perikanan, masih jauh dari apa yang diharapkan, bahkan menurutnya masih sangat buruk.
Hal ini diungkapkannya melalui tulisannya yang dikirimkannya ke redaksi media sorottuntas.com, pada hari Jumat (10/12/2021).
Ia mendorong lembaga antikorupsi (KPK) untuk memeriksa pejabat - pejabat yang terlibat dalam seluruh kasus yang ada, terutama terkait skandal impor garam dan mesin kapal tahun 2017 lalu.
"Pola penegakan hukum terhadap berbagai kasus korupsi sektor Kelautan dan Perikanan masih buruk. Hal ini berdampak pada melemahnya upaya memenuhi unsur keadilan dalam konstitusi negara.
Ada banyak hasil eksaminasi (uji publik) dalam proses penanganan tindak pidana korupsi sektor kelautan dan perikanan era menteri KKP 1999 - 2021 ini.
Masyarakat belum terpuaskan dengan kinerja penegakan hukum disektor Kelautan dan Perikanan.
Belum memenuhi dan memuaskan rasa keadilan bagi masyarakat: perikanan, nelayan, dan pesisir.
Mendorong KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk memeriksa pejabat - pejabat yang terlibat dalam seluruh kasus yang ada.
Jangan biarkan pejabat tersebut, yang dalam masa tugasnya pemberi kuasa anggaran proyek program.
Ingat skandal garam Impor, dimana KKP waktu itu menyetujui penandatanganan rekomendasi impor garam konsumsi.
Penandatanganan itu dilakukan karena berbedanya angka impor garam yang disepakati antar Kementerian 226.124 ton, sebelumnya hanya menyetujui impor 75.000 ton.
Kasus ini terjadi tahun 2017 lalu, hingga kini belum selesai perkaranya.
Pada prinsipnya, impor dengan tujuan memenuhi kebutuhan rumah tangga, namun penambahannya diketahui untuk industri. Sehingga ada selisih jumlah dan anggaran yang di duga merugikan negara.
Garam impor tersebut, untuk konsumsi, tetapi masuk ke Indonesia dipindahkan menjadi bahan baku. Garam tersebut masuk melalui tiga pelabuhan, yakni Tanjung Perak, Surabaya; Ciwandan, Cilegon; dan Belawan, Sumatra Utara. Untuk waktu masuk Indonesia diserahkan kepada PT. Garam sebagai perusahaan BUMN.
Langkah PT. Garam melakukan impor tentu atas persetujuan dan rekomendasi dari KKP. Sehingga menjadi dasar bagi PT Garam untuk meminta surat persetujuan impor kepada Kementerian Perdagangan.
Atas jumlah penetapan kuota impor garam konsumsi paling banyak 226.124 ton pada 2017 lalu. Dalam pelaksanaannya diawasi oleh Satuan Tugas (Satgas) Impor Garam Konsumsi.
Pembahasan Impor garam ini telah di gelar rapat koordinasi pada 27 Desember 2016 untuk menetapkan kuota impor garam konsumsi pada tahun 2017 lalu.
Sehingga hasilnya menetapkan kuota impor garam konsumsi di 2017 sebanyak 226.124 ton. Ini berdasarkan perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS).
Eksekusi secara bertahap minimal tiga tahap. Pelaksanaan impor dimulai Januari sampai akhir April 2017. Rencananya setiap tahapan akan dilakukan evaluasi.
Jadi kalau dalam evaluasi; impor sudah mencukupi, maka impor garam konsumsi tersebut dapat dihentikan. Pembicaraan ini tentu ada berbagai kesepakatan antar kementerian dengan PT. Garam.
KPK dapat memanggil semua pejabat yang terlibat dan pernah disebutkan dalam kasus impor garam untuk ikut diperiksa. Apalagi skandal impor garam ini mendapat persetujuan antar Kementerian.
Walaupun telah terbentuknya Satgas Impor garam untuk pengawasan, namun ini tidak mampu mengawasi, dimana KPK telah lebih dulu menangkap komisaris PT. Garam.
Bayangkan saja, anggota satgas yang terdiri dari Anggotanya terdapat tujuh Kementerian/ Lembaga, yakni KKP, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Ditjen Bea dan Cukai, BPS, dan Bareskrim Polri.
Tugas Satgas untuk koordinasi dan mengelola data garam konsumsi. Setelah itu baru kemudian Kementerian BUMN memberi penugasan pada PT Garam terkait kuota impor.
Penegak hukum harus terus mendalami kasus dugaan penyimpangan impor garam ini. Sebaiknya penyidik juga harus memeriksa pemberi restu ijin impor garam.
Selain memeriksa pejabat Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sebaiknya penyidik terus mendalami dugaan keterlibatan para pejabat aktif dan mantan pejabat sehingga dapat dilihat secara baik dan benar.
Kenapa dan mengapa bisa terjadi penyimpangan impor garam yang dilakukan oleh PT. Garam?
Begitu juga dengan Kemendag agar ikut diperiksa, karena ternyata PT. Garam telah mengantongi Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan untuk impor garam konsumsi sebanyak 75.000 ton, sebagaimana SPI Nomor 42 dan SPI Nomor 43.
Sebanyak 1.000 ton garam industri yang di impor dan dikemas dalam kemasan 400 gram dengan merek Garam cap SEGI TIGA G dan dijual untuk kepentingan konsumsi.
Adapun sisanya 74.000 ton distribusikan kepada 45 perusahaan industri. Penyimpangan itu diduga untuk menghindari pajak biaya masuk sebesar 10 persen.
Komitmen pemerintah mendukung pemberdayaan garam rakyat perlu dipertanyakan. Karena impor garam dilakukan sebagai bentuk tidak mendukung kehendak petani garam.
Ketika cara berfikir pemberdayaan garam rakyat dengan target produksi garam rakyat ditetapkan 3,2 juta ton karena masih senang impor daripada beli garam petani.
Seharusnya impor distop dan diberdayakan garam rakyat. Tak ada rumus pemberdayaan dengan rumus impor.
Tidak ketemu konsepnya. Diketahui jumlah naik 200 ribu ton dari target pada tahun 2016 sebanyak 3 juta ton. Sementara realisasi produksi garam konsumsi di 2016 hanya tercapai 144 ribu, dan stok hingga akhir tahun lalu 112.671 ton.
Pemerintah bekerja ketergesa-gesaan, salah satunya membangun 6 unit gudang tahun 2017 di Rembang, Brebes, Demak (Jawa Tengah), Tuban, Sampang Madura (Jawa Timur), dan Kupang.
Kemudian, tahun 2016 juga ada 7 gudang garam yang dibangun di Indramayu, Sumbawa, Pati, Pamekasan, Cirebon, Pangkep, dan Bima untuk menampung garam produksi para petani.
Namun, Gudang yang dibangun tidak terpakai hingga sekarang, padahal memiliki standar SNI, tinggal kenangan bagi rakyat, justru gudang yang dibangun itu untuk menampung barang impor.
Kemudian, pada kasus lain, pengadaan mesin kapal. Kejaksaan Agung (Kejagung) hingga kini belum menetapkan tersangka pada perkara tindak pidana korupsi proyek pengadaan mesin kapal perikanan dan pembangunan kapal perikanan tahun anggaran 2016 di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Padahal, penyidik hanya menggunakan laporan hasil perhitungan kerugian negara dari BPKP dan BPK terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi tersebut.
Itupun sudah dilakukan oleh BPK. Tetapi belum ada penetapan tersangka. Tentu perlu mendorong agar segera menetapkan tersangka dan memanggil para pihak yang belum terpanggil.
Kalau kajian dasar Kejaksaan Agung (Kejagung) berdasarkan verifikasi dari hasil audit BPKP dan BPK untuk menetapkan tersangka dari proyek program pengadaan Kapal dan mesin, maka semua data BPK yang tercantum dalam Disclaimer tahun 2015, 2016 dan 2017 dan 2018 sangat layak untuk menjadi bukti awal dan bahan kajian hukum dalam mengusut tuntas korupsi pengadaan kapal.
Tetapi, Kejaksaan Agung melanjutkan pengusutan korupsi pengadaan kapal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun anggaran 2016.
Perkara ini sempat terhenti 10 bulan. Perkara tidak dihentikan, tetap menjadi prioritas Kejagung. Pengusutan perkara sudah masuk tahap pemeriksaan tender proyek.
Penyidik mengorek keterangan dari pengadaan e-katalog mesin kapal. Pejabat KKP itu diduga mengetahui teknis penyusunan spesifikasi mesin kapal.
Di luar itu, besaran harga berikut perusahaan apa saja yang ikut menjadi peserta tender. Keterangannya dihimpun dan diklarifikasi dengan dokumen lelang.
Mesin yang digunakan diimpor dari China. Didatangkan PT Rutan, perusahaan penyedia mesin pertanian. Masuk ke Indonesia lewat Pelabuhan Tanjung Perak.
Lalu disimpan di gudang PT Rutan di Surabaya. Penyidik telah memeriksa PT Gigan Trans Logistik (GTL). Perusahaan yang disewa untuk bongkar-muat mesin kapal dari pelabuhan ke gudang PT Rutan dan termasuk soal proses impor mesin kapal KKP.
Selain itu, penyidik memeriksa PT Jelajah Samudra Internasional terkait penyediaan mesin kapal Vetus sebanyak 66 unit untuk kapal KKP.
Kasus ini bermula ketika Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan KKP melaksanakan pengadaan mesin kapal perikanan sejumlah 1.445 unit pada tahun anggaran 2016.
Pagu anggarannya Rp 271.409.030.000,00. Setelah ditelusuri, terdapat 13 unit mesin kapal senilai Rp 1.060.996.200 yang belum terpasang pada kapal yang tengah dikerjakan.
Kapal itu dikerjakan di galangan yang tidak berada dalam kontrak proyek. Pihak galangan pun ditahan.
Di tengah jalan terjadi perubahan kontrak (addendum) yakni pengurangan atas mesin yang telah terpasang.
Meski dilakukan addendum, KKP tidak membuat perikatan dengan pihak galangan di tahun 2017.
Kejaksaan Agung menduga ada penggelembungan harga dalam pengadaan mesin kapal perikanan pada saat proses e-katalog.
Pengadaan kapal tahun 2016 mendapat sorotan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Begitu juga di daerah ada kemajuan pemberantasan korupsi bidang barang dan jasa sektor kelautan dan perikanan, bahwa Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara (Malut) telah menetapkan empat orang tersangka dalam kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada anggaran pengadaan Kapal Nautika Penangkap Ikan (NKPI) senilai Rp 7,8 miliar, pada tahun 2019 di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Malut.
Proses akan berlanjut terus, kerugian negara diperkirakan mencapai 1 miliar. Kejati Maluku Utara juga masih melakukan pemeriksaan lanjutan dan tidak menutup kemungkinan masih ada tersangka lain.
Sementara untuk perhitungan kerugian negara dalam kasus Kapal Nautika, bekerjasama dengan BPKP untuk melakukan penghitungan kerugian negara.
Namun Kejati sendiri mempunyai hitungan sendiri yang memang bisa dijadikan dasar untuk melakukan penghitungan kerugian daerah.
Kasus tersebut, terdapat perbuatan melawan hukum yang berindikasi terjadinya kerugian keuangan negara.
Proses berawal dari proyek pengadaan Kapal Nautika tersebut dikerjakan oleh PT Tamalanrea Karsatama.
Bahkan selain kapal PT Tamalanrea Karsatama juga merupakan pemenang tender proyek pengadaan alat simulator yang dialokasikan ke tiga SMK yakni SMK Negeri 1 Halmahera Selatan, SMK Sanana di Kepulauan Sula dan SMK Negeri 1 Halmahera Barat.
Keempat tersangka dijerat dengan Pasal 2 UU 32 tahun 1999 Jo UU Nomor 20 tahun 2002 Pasal 2 dan Pasal 3 JO 55 Ayat (1) ke 1 KUHP.
Kemudian, menurut beberapa Lembaga Advokasi di Mataram bahwa terdapat juga, dugaan kasus Kapal Nautika di Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan pengadaan belanja sebanyak 11 unit kapal yang dilakukan Dikbud Pemerintah Provinsi NTB tahun anggaran 2017 - 2018 kurang lebih sebesar 24 M, hal ini terindikasi tidak sesuai spesifikasi. Namun, kasus ini hingga sekarang belum dilaporkan kepada Kejaksaan Tinggi Mataram.
Ada kemajuan juga, dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Gorontalo segera mengusut kembali kasus korupsi pengadaan kapal ikan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Bone Bolango (Bonebol) tahun anggaran 2017-2018.
Kejati telah mempelajari motif proses penyelidikan dan penyidikan kasus tersebut, dan terdapat menyalahi prosedur.
Sehingga Kejati menyelidiki kembali. Berkas perkara diserahkan ke Kejaksaan Tinggi untuk ditindak lanjuti. Dalam penerbitan sprindik lanjutan ada dugaan ketidakberesan proses pengadaannya.
Menilai Disclaimer sebagai kerugian negara sehingga termasuk Tindak Pidana Korupsi (TPK), bahwa terlebih dahulu harus mengetahui definisi kerugian negara yang terdapat dalam beberapa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK), Pasal 1 angka 15, bahwa: Kerugian Negara atau Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Sedangkan Pasal 1 Angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) bahwa: Kerugian Negara / Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Penjelasan Pasal 32 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2021 bahwa: yang dimaksud dengan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
Dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara bahwa kerugian negara dapat terjadi karena pelanggaran hukum atau kelalaian pejabat negara atau pegawai negeri bukan bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan administratif atau oleh bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan kebendaharaan.
Penyelesaian kerugian negara perlu segera dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeri atau pejabat negara pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada khususnya.
Masalah kerugian Keuangan Negara Pada Tindak Pidana Korupsi, dijelaskan bahwa berdasarkan UU BPK dan Keppres No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen yang menilai atau menetapkan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Adapun perhitungan kerugian negara sendiri bersifat kasuistis, atau dilihat kasus perkasus, seperti diketahui untuk kasus proyek pengadaan mesin kapal perikanan yang disidik Kejagung itu berawal ketika KKP pada 2016 mengadakan mesin kapal perikanan sebanyak 1.445 unit dengan pagu Anggaran sebesar Rp 271 miliar.
Dari jumlah unit mesin kapal itu, sebanyak 13 unit kapal senilai Rp 1 miliar terpasang pada kapal yang belum selesai dibangun dan berada di galangan tanpa kontrak pada 2017.
Ketentuan dalam UU Pemberantasan Tipikor bahwa: dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Penjelasan pasal di atas, bahwa: kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara menunjukan tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Pada saat kapan kerugian keuangan negara dalam Tindak Pidana Korupsi terjadi.
Untuk memudahkan memahami hal tersebut, kasus pengadaan barang atau jasa. Misalnya, pekerjaan belum 100% (baru 55%), tetapi pembayaran sudah 100%, seperti kasus pembangunan kapal perikanan pada 2016, berawal ketika pengadaannya dengan pagu Anggaran sebesar Rp477,9 miliar dengan realisasi anggaran pembangunan kapal perikanan sebesar Rp209 miliar.
Berdasarkan ketentuan dalam syarat-syarat khusus kontrak pembangunan kapal perikanan, pembayaran prestasi pekerjaan dilakukan dengan cara Turn Key yaitu pembayaran dilakukan jika satuan unit kapal telah sampai di lokasi.
Namun sampai akhir 2016 dari 754 kapal baru selesai 57 kapal. Sehingga sesuai syarat-syarat khusus kontrak pembangunan kapal seharusnya dibayarkan hanya untuk 57 kapal senilai Rp15,969 miliar.
Sedangkan untuk 697 unit kapal yang tidak selesai seharusnya tidak dapat dibayarkan.
Namun pada akhir tahun anggaran ada perubahan ketentuan soal cara pembayaran. Dari semula Turn Key, menjadi sesuai progres dengan tujuan agar meski kapal belum selesai dikerjakan, pembayaran dapat dilakukan.
Sehingga untuk 697 unit kapal yang belum selesai dikerjakan tetap dibayarkan sesuai nilai kontrak secara keseluruhan sebesar Rp193,797 miliar dan untuk sisa pekerjaan yang belum selesai dijamin dengan Garansi Bank.
Apakah itu kerugian keuangan negara dihitung dengan cara membandingkan antara nilai kontrak dengan nilai realisasi atau apakah dimungkinkan kerugian dihitung berdasarkan uang negara yang keluar secara tidak sah (dasar dokumen pencairan yang fiktif). Ya dapat dikatakan merugikan negara.
Menilai dan menetapkan adanya kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ini sesuai dengan pasal 10 Undang – Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK), bahwa: “BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.”
Kerugian Negara sendiri adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai (lihat pasal 1 ayat [15] UU BPK). Penilaian kerugian tersebut dilakukan dengan keputusan BPK (lihat pasal 10 ayat [2] UU BPK).
Selain BPK, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga berwenang untuk menetapkan mengenai adanya kerugian negara.
Ini terkait dengan fungsi BPKP yaitu melaksanakan pengawasan terhadap keuangan dan pembangunan (lihat pasal 52 Keppres No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen)
Dalam kasus pengadaan kapal saja, di mana pembayaran sudah terjadi 100% padahal pekerjaannya baru selesai 55%, dan pencairan pembayaran dilakukan atas dasar dokumen fiktif, maka di sini terjadi pencairan secara melawan hukum. Yang dihitung menjadi kerugian negara adalah besarnya pencairan yang terjadi secara melawan hukum tersebut, yaitu 45% setelah ada pembatalan kontrak.
Akibat pembatalan kontrak kapal, ke -13 unit mesin yang terpasang ditahan pihak galangan.
Sementara itu, tidak membuat perikatan dengan pihak galangan pada 2017. Kemudian, ada dugaan mark up harga di dalam pengadaan mesin kapal perikanan saat proses e-Katalog.
Jadi pengadaan kapal itu sangat merugikan negara. Kejagung segera proses pemanggilan terhadap Mantan Menteri KKP, beserta para Pokja pengadaan kapal dan mesin kapal.
Semoga terus komitmen penegak hukum melakukan proses hukum terhadap para koruptor di sektor Kelautan dan Perikanan.
Penting menagih komitmen para penyidik Kejagung agar cepat menyelesaikan proses dugaan korupsi pengadaan kapal dan mesin kapal di KKP.
Penulis: Rusdianto Samawa, Sala satu Pendiri LBH Nelayan Indonesia